“Jika Tuhan murka, Dia akan mengirim rumah raksasa yang rakus. Rumah raksasa yang rakus itu akan melahap alam raya ini. Rumah raksasa yang rakus itu akan memakan apa saja. Sawah, ladang. kebun, hutan, taman, bahkan gubuk liar“
Cerpen : Rumah raksasa yang rakus
Kakek mulai sering bercerita semenjak tamu yang dari kota datang di hari minggu yang cerah. Mereka utusan dari seorang pengusaha besar yang juga anggota DPR pusat, yang tertarik dengan lokasi tanah pertanian kakek di desa Cialas ini.
Tempat itu memiliki pemandangan gunung yang luar biasa indahnya. Udaranya yang sejuk dengan pemandangan alam yang indah itu, dapat menjadi tempat berlibur yang menyenangkan dan tentu saja prospek bisnis yang menguntungkan.
Mereka berencana membeli dan membangun villa dilahan dimana sawi, kol, kubis, selada, tumbuh subur di atasnya.
Tapi mendengar itu kakek langsung minta izin mau ke ladang karena ada sawi yang harus di panen katanya, jadi orang-orang itu cuma bicara sama bapak. Bagus melihat bapak mengangguk-anggukkan kepalanya sembari berjabatan tangan kemudian orang-orang itu pun pulang tanpa menanyakan kakeknya lagi.
Dan ketika dia disuruh menyusul kakeknya di ladang dia melihat kakeknya cuma duduk-duduk termenung di dalam saung sambil menatap hamparan tanaman sayurnya yang siap panen.
Cerpen : Rumah raksasa yang rakus
Semenjak itu kakek sepertinya selalu menghindar jika bapak mulai menyinggung soal tanah pertaniannya. Malah kakek secara halus meminta bapak supaya kembali saja ke kota. Bukankah bapak masih punya banyak pekerjaan maklum bapak adalah manajer pemasaran sebuah pengembang besar yang telah banyak membangun Mall dan Apartemen.
Kata bapak kepada tamu yang dari kota itu, kakek orang tua yang masih tradisional dan teramat kolot. Namun bapak selalu meminta Bagus untuk menghormati kakek dan berlaku sopan terhadap kakek.
Cerpen : Rumah raksasa yang rakus
“Harga yang diberikan itu sudah cukup tinggi pak, lagipula siapa yang bisa meneruskan usaha tani bapak ini, saya anak bapak satu-satunya dan tidak punya keahlian di bidang itu. Apalagi sekarang saya bekerja di kota,” kata bapak malam itu di beranda rumah.
Kakek cuma diam. Asap rokok keluar dari mulutnya yang terbuka. Kemudian rokok itu kembali dihisapnya pelan. Asapnya mengepul bercampur dengan udara dingin yang meyelimuti kampung Cialas. Diliriknya Bagus yang tengah mengunyah jagung rebus di depannya. Matanya tak berkedip menatap cucu satu-satunya itu. Hingga membuat Bapak kembali membuka mulut
“Bagus kan masih kecil pak, mana ketahuan besarnya nanti mau jadi apa , bisa jadi dia malah ingin jadi polisi atau anggota DPR hehehehe…, ” bapak berusaha mencairkan suasana.
Kakek tidak terusik. Kakek tetap asyik memperhatikan Bagus mengunyah jagung yang direbus kakek menjelang sore tadi. Dan tersenyum ketika Bagus memelintir butir jagung tersebut, melemparnya ke udara lalu mencoba menangkapnya dengan mulutnya yang terbuka lebar.
Sepertinya kakek tidak berselera jika disinggung soal jual beli tanahnya. Kakek semakin sering diam dan merenung jika bapak datang. Tapi semenjak itu kakek sering bercerita tantang rumah raksasa yang rakus.
“Apa kakek pernah melihat rumah raksasa yang rakus itu?”
“Pernah”. Jawab kakek cepat. “ketika itu kakek masih tinggal dikota”. Ucap kakek lagi.
“Seperti apa kek?” tanya Bagus penasaran.
Kakek diam sejenak mengatur nafasnya. Pikirannya kembali merambat ke masa lalu. Matanya menerawang mencoba menelusuri kembali masa lalunya yang kelam
Tidaklah mudah bagi kakek menjalani hidup mudanya bersama nenek. Tinggal di kota yang terus membangun diri membuatnya harus rela tergusur ratusan kilometer. Tanah garapan yang telah turun temurun dari nenek moyang tidak dapat membuatnya menjadi pemilik sah tanah tersebut.
“TANAH INI MILIK NEGARA” demikian tertulis pada plang besi yang berdiri angkuh di dekat pemukimannya.
Bukan cuma kakek, puluhan rumah-rumah kecil dan gubuk miskin tidak berdaya kala itu untuk menahan amukan bulldozer dan tekanan pejabat kota.
“Tempat ini akan dijadikan daerah terbuka hijau”. Demikian kata pejabat kota kala itu.
Cerpen : Rumah raksasa yang rakus
Dengan santunan sekadarnya, kakek memilih mengungsi ke kampung Cialas. Menggarap ladang milik orang yang akhirnya menjadi menggarap ladang milik sendiri berkat ketekunannya berusaha.
Sempat akhirnya kakek jalan-jalan ke kota mencoba menengok bekas tempat tinggalnya yang kabarnya akan menjadi taman yang indah. Tapi apa yang dilihatnya membuatnya kaget bukan kepalang.
Bukanlah taman indah seperti dalam bayangannya melainkan gedung raksasa yang megah.
Cerita kakek membuat Bagus penasaran. Dalam hati dia berencana akan merajuk untuk ikut ke kota jika bapak datang menengoknya. Dan ia berhasil.
Perjalanan ke kota metropolitan itu dapat di tempuh selama empat jam. Dan selama perjalanan itu Bagus tidak perlu memikirkan kakeknya lagi. Mungkin sekarang kakek sudah menenteng termos kecilnya, yang berisi kopi pekat tanpa gula lalu berjalan pelan di pematang, dengan sebatang rokok yang menyala di jarinya.
Kakek akan menuju ke saung, meletakkan termos kecilnya di sana, menuangkannya hati-hati ke dalam cangkir kecil penutup termos. Kopi pahit tanpa gula itu telah bertahun-tahun menjadi minuman wajib buat kakek. Kakek akan duduk di sana hingga senja jika tak ada orang yang mengusiknya.
Hamparan tanaman sayur itu tidak hanya nikmat untuk dimakan dan juga bukan hasil jualnya yang terbayang di pelupuk mata.
Namun hamparan tanaman sayur dengan gunung di belakangnya itu menjadi pemandangan alam yang begitu indah. Karunia Tuhan yang masih mengizinkannya memotret pemandangan alam itu setiap waktu dengan kedua kelopak matanya yang tua.
Kakek tidak harus menunggu liburan untuk menikmati pemandangan alam yang indah ini. Dan tentu tidak perlu menyewa villa. Karunia ini tersaji setiap saat buat dirinya penduduk kampung Cialas.
Cerpen : Rumah raksasa yang rakus
Di dalam mobil Bagus menutup matanya. Dia berbaring di jok belakang. Dia ingin segera sampai di kota dan bertemu dengan calon mama barunya. Bapak sudah berjanji akan membawanya jalan-jalan. Ke tempat hiburan yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Kata bapak setelah menikah dengan Tante Dewi, Bagus akan menetap di kota. Mereka akan tinggal di sana selamanya. Tapi Bagus malah bertanya:
“Kakek?”.
“Setiap lebaran kita akan ke kampung”.
“Kenapa kita tidak tinggal sama Kakek saja?”
“Kakek kan tidak mau diajak ke kota”
“Kalau begitu Bapak tidak usah ke kota lagi tinggal di kampung saja sama Bagus dengan Kakek”
Bapak tertawa. Kepala Bagus di elus-elusnya. “Gus, Bapak kan punya pekerjaan di kota, jadi Bapak harus tinggal di sana” kata bapak.
Entah sudah berapa kali dia mengatakan hal yang sama. Walau dia tahu jika bocah itu tidak akan puas dengan jawaban itu. Tapi bapak yakin lambat laun Bagus akan mengerti.
Cerpen : Rumah raksasa yang rakus
Suara serine kendaraan membangunkannya dari tidur. Bagus membuka mulutnya, menggeliat sebentar dan memicingkan kedua matanya. Dia melihat takjub ke luar kaca mobil. Begitu ramai dan hiruk pikuk kendaraan.
Sebuah kontainer berada persis di samping kiri mobilnya. Di sebelah kanan sebuah bis yang penuh dengan muatan manusia seperti sedang menunggu. Beberapa motor roda dua tampak di sela-sela jejeran mobil yang memenuhi jalan besar itu. Jalanan ini begitu ramai dan bising.
“Bapak ?” gumamnya pelan
Bapak yang berada di belakang kemudi meliriknya dari kaca spion. “Yah, kita sudah di kota Gus, sebentar lagi kita sampai di rumah. Cuma sekarang masih macet”. Sahut Bapak kemudian mengangkat handphonenya yang berbunyi.
Mobil itu bergerak perlahan. Mencoba menerobos kemacetan yang menghadang. Lambat laun Bagus mulai dapat melihat pemandangan sekelilingnya. Dia terkesima. Di kampungnya tidak ada rumah yang lebih tinggi daripada pohon mangga. Tapi di sini ada rumah yang bahkan lebih tinggi dari pada pohon kelapa. Di kampungnya juga cuma rumah bupati yang luasnya seperti lapangan sepakbola. Tapi disini ada rumah yang luasnya bahkan melebihi lapangan sepakbola.
Tiba-tiba Bagus terhenyak seketika, seperti menyadari sesuatu. Wajahnya berubah. Kecemasan seketika tampak di wajahnya.
”Astaga ! ”. Jeritnya dalam hati.
Tapi bapak tidak menangkap kecemasan Bagus. Bapak sibuk berbicara di handphone.
“Yang jelas tanah itu hak waris saya nantinya, terserah deh mau di bangun apa, mau hotel bintang 5 juga boleh hehe ……sekarang aku masih di depan Mall Plaza, besok malam saja kita ketemu di apartemenku, kita bahas itu……”ujar bapak sambil terus menyetir mobil dengan tangan kanannya yang menempelkan handphone ke kupingnya.
“Kakek,” Bagus teringat seketika dengan cerita kakek saat memandang jejeran bangunan megah di depan matanya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tak percaya.
“ Tuhan telah murka,” ucapnya pasrah.
“Begitu murkanya hingga mengirim rumah raksasa begitu banyaknya untuk melahap kota ini”.
Bapak tetap tidak menangkap kecemasan itu. Bapak masih sibuk berbicara di handphone sambil menyetir.(*)