Penipuan investasi atau berkedok investasi bukanlah fenomena baru-baru ini. Namun perkembangan teknologi tampaknya telah memberi ruang dan lahan yang subur bagi kejahatan jenis ini.

Mengamati dinamika penipuan investasi, perhatian saya juga tertuju pada posisi korban. Kita semua tahu, posisi korban sangat kuat dalam kasus kejahatan. Secara moral, mereka dianggap tidak pantas disalahkan dan membutuhkan simpati publik.

Namun terkait dengan kasus penipuan investasi , terdapat beragam pandangan. Wacana menyalahkan korban mulai terdengar terkait peran mereka dan pelaku yang beragam dan saling melengkapi. Walaupun mayoritas publik geram kepada pelaku. Namun sebagian lain, tidak dipungkiri, merasa “gemas” kepada korban.

Sudut Pandang Investasi dan Keuangan, kali ini tidak akan memilih untuk berada di salah satu antara dua pandangan ini: Apakah korban bersalah atau tidak dapat disalahkan. Dan dalam mengulas wacana tentang korban ini, saya menghindar dalam mengupas secara spesifik satu persatu kejahatan penipuan investasi tersebut atau bagaimana peran personal para korban dan di kejahatan mana itu terjadi.

Bukan karena menghindari victim blaming atau semacamnya, namun karena dua wacana terkait posisi korban dalam penipuan investasi tersebut, keduanya cukup menarik dan “menempati ruang di pikiran” [Sesuai dengan tagline Zatlog.com]

Jadi inilah dia kedua pandangan terkait posisi korban penipuan investasi tersebut.

Korban penipuan investasi juga bersalah

Tidak ada satupun orang di dunia ini yang bisa kebal dengan kejahatan. Kejahatan bisa terjadi secara acak, di mana saja dan kapan saja. Korban penipuan investasi merasakan dampak negatif tidak hanya dari segi keuangan. Mereka menderita dan tidak ingin disalahkan. Pelaku adalah pihak satu-satunya yang layak disalahkan dalam hal ini. Demikianlah pemahaman banyak orang. Namun kami melihat ada benang merah hingga membuat kejahatan penipuan investasi ini dapat berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Ada banyak Faktor yang mendukung. Ada beberapa hal yang berkontribusi pada resiko mereka menjadi korban.

Teori tentang viktimisasi pada dasarnya sudah tidak asing. Walaupun kejahatan bisa sangat acak dan tidak memiliki target korban yang potensial tetapi faktor-faktor seperti gaya hidup, pendidikan,rutinitas, demografi, status ekonomi dan aktivitas sosial, terbukti dapat meningkatkan kemungkinan seseorang menjadi korban

Contohnya Individu dengan resiko rendah untuk menjadi korban kejahatan penipuan investasi akan berupaya menghindari skema manipulatif yang mencoba mengambil keuntungan dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang hal tersebut sebelum mempertaruhkan uang mereka.

Mereka seharusnya bersikap lebih selektif terhadap beberapa rekomendasi investasi dengan mempelajari seluk beluk sistem investasi tersebut, agar tidak terjerumus dalam penipuan, dengan tidak mudah percaya pada pernyataan yang salah dan menyesatkan. Padahal dengan teknologi saat ini , hal tersebut seharusnya lebih mudah untuk dilakukan.

Dalam beberapa kasus penipuan investasi, Kita sering mendengar korban bercerita. Dan kita dapat melihat peran mereka disana. Mereka pada dasarnya turut andil dalam kejahatan terhadap diri mereka sendiri.

Dalam sebuah kasus, korban pada dasarnya telah mengetahui bahwa praktik tersebut ilegal berdasarkan undang undang namun bersikeras tetap menjalin hubungan dengan pelaku bahkan bersekutu dengan pelaku untuk mendapatkan keuntungan. Kita menganggap tidak layak membebaskan korban dalam hal ini.

Biasanya skema penipuan investasi tersebut menjanjikan keuntungan yang sangat tinggi untuk jangka waktu yang cepat. Ini tentu tidak masuk akal. Sehingga menjadi kesalahan korban yang tidak melatih akal sehat yang baik.

Meskipun pengetahuan dan pemahaman tentang kasus penipuan investasi yang pernah terjadi sebelumnya telah meningkat dan informasi tentang kasus penipuan telah menjadi pengetahuan publik namun sikap mereka terkadang tetap keras kepala dan serakah.

Setiap individu memiliki pilihan sendiri dalam mengambil keputusan investasi maka tanggung jawab ada pada individu masing-masing. Penipuan investasi yang sifatnya memperdaya dan tanpa paksaan atau yang terjadi secara online dianggap atas keinginan individu sendiri, padahal hal itu mudah dihentikan atau dapat dicegah dengan cukup tidak terlibat, menghindari atau menolak segala bentuk bujuk rayu dalam hal investasi. Jadi dalam konteks ini pada dasarnya korban dapat menghindar menjadi korban

Tidak adanya asuransi untuk korban penipuan investasi adalah sinyal bahwa korban secara tidak langsung dianggap bertanggung jawab terhadap kehilangan uang yang mereka derita.

Pemahaman bahwa korban selalu dan sepenuhnya tidak bersalah kami anggap tidak tepat. Bahkan jika korban yang terlibat dalam kegiatan ilegal walau telah menderita kerugian tetap patut bertanggung jawab terhadap kerugian mereka sendiri.

Menganggap semua korban tidak bersalah berarti membebaskan semua korban dari semua tanggung jawab untuk memprediksi, berhati-hati, atau selektif dalam memilih investasi. Hal ini hanya akan membuat mereka menjadi makhluk yang tidak berdaya dan tidak mampu menghindari kejahatan dan pada akhirnya dapat membuat mereka kembali menjadi korban.

Kami tidak membenarkan tindakan kejahatan penipuan. Tetapi kami juga merasa bahwa penting untuk mengetahui letak kesalahan korban agar dapat menjadi pembelajaran buat mereka ke depan.

Orang yang tertipu tidak sepenuhnya suci dari sebab perbuatan si penipu.
Sebagaimana benang tenun hitam dan putih.
Bersama membentuk sehelai kain.

Kahlil Gibran

Korban penipuan investasi tidak dapat disalahkan

Pandangan yang menyalahkan korban seringkali subjektif karena menggeneralisir semua kasus penipuan. Padahal setiap kasus memiliki pola yang berbeda dan taktik yang digunakan pelaku juga berbeda.

Orang yang menjadi korban penipuan investasi, bukan hanya yang paling rentan atau mudah tertipu. Banyak contoh orang yang tertipu dari mereka yang Anda pikir tidak mudah tertipu. Korban penipuan investasi dapat berasal dari mana saja. Demikian juga pelaku, mereka dapat berasal dari berbagai kalangan, suku bangsa, sosial, ekonomi dan pendidikan.

Kasus penipuan terjadi didasari atas niat pelaku. Dimulai dari inisiatif pelaku sendiri yang bergerak mencari korban. Menyusun skema penipuan dan taktik untuk memperdaya korban. Jadi bagaimana posisi korban dalam hal ini dapat disalahkan?

Benar bahwa korban seharusnya belajar dari kasus yang pernah terjadi sebelumnya. Namun pelaku profesional juga belajar lebih cepat dari kita tentang skema penipuan. Mereka sangat ahli dan terampil dalam apa yang mereka lakukan. Teknologi canggih dan trik yang mumpuni berpadu dengan taktik psikologis yang menjadi keahlian mereka, dapat membuat kita semakin sulit membedakan antara penipuan yang berkedok investasi dengan investasi yang sesungguhnya.

Menganggap korban juga bersalah dalam kasus penipuan investasi cenderung didasari penilaian subjektif terhadap perilaku korban dengan mengabaikan faktor eksternal yang juga berperan dan berkontribusi terhadap kasus penipuan seperti lemahnya pengawasan lembaga yang berwenang, kinerja penegak hukum yang lamban, minimnya informasi tentang skema investasi, jaringan data yang bocor serta hukum yang tebang pilih.

Penilaian bahwa korban penipuan investasi adalah orang yang bodoh, serakah, tidak rasional, dan berharap menghasilkan uang dengan cepat, adalah asumsi yang tidak berdasar. Seringkali korban adalah mereka yang tengah berusaha memperbaiki kondisi keuangan dan mencari cara baru dalam mengelola keuangan mereka.

Kita terbiasa mendengar korban bercerita, bagaimana mereka menderita kerugian finansial, dan emosional serta masalah medis akibat penipuan yang mereka alami. Bagaimana sebenarnya mereka merasa malu, bersalah dan menyesal karena tidak mengetahui sejak awal dan begitu percaya kepada pelaku, Bagaimana mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas apa yang terjadi. Bagaimana mereka begitu terbebani secara psikologis.

Sikap menyalahkan korban, kami anggap hanya akan membuat mereka semakin tertekan dan dapat berarti bahwa yang disalahkan bukan pelaku.

Kejahatan investasi harus diperangi dan diberantas. Wacana menyalahkan korban hanya akan berdampak negatif, Memberi kesan menyepelekan kejahatan penipuan. Hal ini dapat membuat korban menjadi enggan untuk melaporkan kejahatan penipuan yang terjadi. Faktanya hanya sedikit korban penipuan investasi yang melaporkan kasus penipuan ke penegak hukum. Hal ini dapat membuat penipuan dapat bertahan lebih lama dengan korban yang terus bertambah.

Terakhir, kembali kami ingatkan, bagaimana skema penipuan dapat semakin canggih, pelaku semakin terampil, pengawasan lembaga keuangan yang lemah, jaringan data yang bocor, scam dan sebagainya, yang dapat terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja.

Jadi, Bagaimana Anda yakin tidak dapat menjadi korban?

Baca: Kerja Keras Tidak Bisa Membuat Anda Kaya

Catatan Zatlog

“Tidak ada korban, hanya relawan.”

-Robert Anthony

Asria Ali

Sedang menulis

Artikel yang Disarankan