Kemarin aku memohon kepada Tuhan untuk memaafkan aku. Kecemburuan telah membuatku tak berdaya. Akibatnya kami bercerai.
Aku menyesal karena tidak dapat menjaga buah hati kami, Zaki. Zaki sudah beranjak dewasa. Umurnya sudah 12 tahun. Namun jiwanya masih sangat labil. Zaki terlihat depresi dengan perceraian kami. Tidak seperti kami yang melaluinya dengan tenang.
Begitu Zaki tahu kami memutuskan berpisah, dia kabur dari rumah. Dia memilih ngekost di rumah teman satu ganknya. Dari orang tua temannya itulah, aku dapat informasi. Zaki kecewa dengan keputusan kami.Dan tidak ingin memilih diantara kami. Dia lebih memilih pergi. Entah sampai kapan.
cerpen harta yang tersisa
“Kamu kelihatan menikmati kesendirianmu”, Maya menuangkan teh perlahan dicangkirku . Di rumahku dia sudah seperti keluarga. Seorang sahabat yang tidak hanya dapat menjadi pendengar yang baik tapi juga pembicara yang tepat.
Maya sangat mengenalku. Aku selalu membutuhkan bantuannya. Seperti saat ini. Aku berharap mendapatkan pencerahan darinya.
“Tapi perceraian ini sungguh diluar harapan saya May”.ujarku.
Maya tersenyum”Aku tidak mengatakan kalau kau mengikuti trend masa kini”Dia tertawa.
Aku dulu pernah berpikir seperti itu. Bisa jadi perceraian tidak lebih dari sekedar gejala modernisasi. Melihat angkanya yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dan begitu sepelenya alasan di balik itu.
Tapi apa yang aku rasakan lepas dari itu semua. Setidaknya aku punya alasan
cerpen harta yang tersisa
Beberapa hari lalu seorang wanita muda dan cantik, datang ke rumah kami. Pakaian corak hitam putih bergaris lurus nampak modis ditubuhnya yang langsing.(Suamiku, Jay, sering memintaku untuk melakukan program diet, dengan dalih timbunan lemak di tubuhku dapat menimbulkan berbagai macam penyakit kronis. Tapi aku merasa dia risih dengan ukuran tubuhku. Dia ingin aku terlihat langsing dan seksi seperti istri teman kerjanya).
Wanita itu hanya sebentar. Menyerahkan kunci mobil lalu bergegas pergi. Aku langsung berpikir kalau suamiku sudah selingkuh. Aku menudingnya memiliki istri simpanan.
Wanita itu menyerahkan mobil sedan merah yang ternyata miliknya.Sejak kapan dia membeli mobil itu aku tak pernah tahu. Dan mengapa wanita itu membawanya ke rumah kami, aku juga tidak tahu. Mungkin mereka sedang bertengkar.
Di luar dugaan, suamiku mengakui wanita itu sebagai pacarnya. Sudah berapa lama mereka pacaran, aku tak perlu tahu, katanya. Yang menyebalkan dia seakan menjadikan aku kambing hitam dari perselingkuhannya itu.
Berselang seminggu kemudian kami akhirnya dapat mengakhiri polemik rumah tangga kami itu dengan perceraian.
cerpen harta yang tersisa
“Sebenarnya sejak dulu sudah tak ada kecocokan diantara kami. Mungkin ini saatnya kami saling introspeksi diri,” ucapku, walau tak begitu yakin.
Maya cuma senyum-senyum kecil saja dari tadi. Menjengkelkan aku. Dari senyumannya seakan dia tidak mengubris alasan nyata yang kubeberkan padanya. Sudah kukatakan tadi, Maya sangat mengenalku.
“Jangan-jangan perceraian hanya upaya seseorang untuk memperoleh kebebasannya memiliki diri sendiri” katanya menyindir.
“Gila kau, aku sudah lama menghadapi dilematisnya hubunganku dengan Jay. Sungguh. Sekarang banyak hal yang harus aku pikirkan, terutama Zaki. Dia adalah hartaku yang paling berharga. Aku tak dapat membayangkan perasaan orangtuaku di kampung nantinya setelah mengetahui hal ini. Jadi itulah mengapa kau sampai sekarang belum mau menikah , karena takut kebebasanmu terenggut ?”tanyaku memcoba membalasnya.
“Hahaha….” Maya memamerkan kawat giginya yang keperakan. Pertanyaan serupa hampir selalu ditanggapinya dengan tawa.Tak pernah dia mau menjawabnya dengan serius.
Aku sendiri tidak begitu peduli dengan kehidupan pribadinya. Justu gaya hidupnya yang santai dan tak peduli apa kata orang itulah yang membuatku merasa nyaman menjalin keakraban dengannya sejak kami masih di bangku SMA.
“Lalu mengapa harus mengambil keputusan itu sekarang say, jika karena alasan itu.Tiga belas tahun itu bukan waktu yang singkat loh, apakah karena ada gejolak baru yang menyerang?”
“Hahahahahaha….” Aku tertawa sembari mencubitnya. Aku merasa wajahku bersemu merah. Dan aku tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Maya mundur sejengkal dari tempat duduknya yang tadi. Cubitanku yang keras dipinggulnya membuatnya meringis dan mengelus-elus pinggangnya. Tapi itu tetap tidak membuatnya berhenti menelisik lebih dalam. Dia kembali bertanya
“Ngomong-ngomong apa sih Ren, yang membuat kamu menjatuhkan pilihanmu kepada Jay. Yang kutahu kamu baru akrab dengannya dua bulan sebelum kalian menikah. Dan kala itu kukatakan padamu bagaimana angkuhnya pria itu. Membuatku muak saja”.
Aku cuma tertawa menanggapinya. Pertanyaan seperti ini kadang sering membangkitkan perasaan sentimentilku karena akan menusuk-nusuk kenangan tiga belas tahun silam. Dan setiap kenangan seberapapun hambarnya akan tetap memikat hatiku.
cerpen harta yang tersisa
Aku mencoba melukis gambaran Jay di benakku. Siapa sih yang tidak akan jatuh hati pada Jay. Seorang pengusaha sukses, tampan yang kaya raya (kecuali Maya tentunya).
Dan betapa bangganya aku kala dia memilihku diantara gadis-gadis kampus yang berusaha memikat hatinya. Bahkan seseorang diantaranya sudah sempat dijadikan pacar saat aku mengikrarkan janji sehidup semati bersama Jay. Aku merasa bangga kala itu.
“Aku memilihmu karena kamu wanita yang paling sabar, yang pernah bersamaku”
Aku tidak tahu apakah itu rayuan. Dan apakah aku yang begitu bodohnya menganggap itu sebagai pujian.
Yang jelas yang terjadi kemudian aku berusaha menjaga sikapku agar tetap sesuai dengan kalimat itu. Setelah menikah aku selalu menemukan kalimat itu diantara rekening-rekening tidak jelas yang dia kirimkan kepada seseorang, jumlahnya hingga ratusan juta.
Dan aku mendapatkan kalimat itu lagi ketika dia sering pulang larut malam dan tidak menjawab teleponku.
Dan ketika aku mulai meragukan segalanya dengan tidak mengizinkannya pergi keluar kota sendirian maka meluncurlah kalimat itu yang membuatku bungkam untuk kesekian kalinya. “Aku memilihmu karena kamulah wanita yang paling sabar diantara wanita yang pernah aku kenal”.
cerpen harta yang tersisa
Jay, mungkin dia memang egois. Pantang diusik. Apalagi jika soal wanita. Tapi jika kurenungkan buat apa dia memilihku diantara puluhan wanita atau bahkan lebih daripada itu.
Jika sudah begitu aku selalu berusaha sabar dan memberikan kebebasan sepenuhnya. Walaupun rasa cemburuku sempat tak terbendung ketika mengetahui dia akan keluar kota untuk beberapa waktu lamanya tanpa alasan yang jelas.
“Cemburu itu cuma penyakit hati, sebabnya ya dari diri sendiri,” katanya ketus ketika itu. Dan akhirnya aku luluh juga dan membiarkan pernikahan kami berjalan sebagaimana maunya.
Datar saja. Jay pergi kerja dan aku menunggunya dengan sabar di rumah. Jay pulang larut malam dan aku membukakan pintu dengan senyuman.
Dan ketika keluar kota, aku sabar menunggunya dan menyambutnya dengan kecupan dan rasa rindu yang tertahan di dada.
Semakin lama aku semakin sabar, melihat Jay pulang dan pergi. Ketika akan keluar kota aku bahkan lupa bertanya padanya kapan dia akan pulang. Karena aku yakin dia akan senang aku percaya padanya.
Semakin lama aku semakin sabar membiarkan Jay datang dan berlalu di depanku. Dan hari-hariku selanjutnya hanya disibukkan dengan Zaki, anak semata wayang. Menyiapkan pakaiannya lalu mengantarnya ke sekolah. Mendengarkan ceritanya di meja makan dan meluangkan waktu mengajaknya ke bioskop menonton film kesukaannya.
Hingga Zaki mulai dewasa dan mulai malas bercerita. Aku tak pernah alpa menontonnya bertanding basket walau di akhir pertandingan dia akan memintaku untuk pulang duluan.
Mengajaknya berlibur mulai sering ditolaknya. Anak baru gede ini mulai risih ditemani olehku.
“Tidak usah mengantarku Ma, itu sangat kekanakan,” katanya suatu ketika.
Anakku, Zaki, memang sudah beranjak remaja. Aku harus melihatnya seperti itu. Dan sebagaimana lazimnya anak remaja, perhatiannya tercurahkan kepada teman sebayanya.
Dan aku memberikan kepercayaan itu sepenuhnya, Maka Zaki pun pulang pergi semaunya.
Akhirnya aku hanya mengalihkan perhatianku pada diriku sendiri. Tanpa sadar aku menikmati keadaan ini.
cerpen harta yang tersisa
Aku tak menyangka, ternyata aku belum terlambat untuk mengulang masa-masa remaja. Masa-masa pergaulan yang ceria dengan kawan sebaya membuatku terhanyut.
Kami rutin mengadakan arisan, party kecil di rumah, memilih gaun di butik, merawat kecantikan di salon hingga mengumbar senyum di kerlip malam pada sebuah club.
Pelan-pelan aku mencoba melupakan peranku sebagai seorang istri yang sabar dan seorang Ibu dari anak yang beranjak dewasa.
Namun semuanya tidak berjalan seperti yang aku kira. Bukannya senang dengan kesabaranku yang tak ada batasnya. Suamiku malah menganggapku sebagai istri yang tidak memperhatikan rumah tangga. Aku dianggap kurang becus mengurusi anak semata wayang kami. Zaki, terlibat tawuran bersama teman sekolahnya, dan harus diopname di rumah sakit.
“Tugas istri itu ya dirumah, mengurusi rumah tangga, anak dan suami, bukan mengurusi hal yang remeh- temeh yang tak penting ” hardiknya.
Aku ingin sekali marah pada saat itu, karena semua ini bukan kesalahanku semata. Tapi buat apa, toh kami telah memulai sesuatu yang tidak dapat lagi kami perbaiki.
Dan puncaknya ketika wanita cantik itu datang kerumah. Dan ketidak becusanku sebagai seorang istri itulah yang dijadikan alasan suamiku menghalalkan perselingkuhannya.
“Kalau ingin selingkuh ya selingkuh aja, tidak usah cari pembenaran seperti itu, aku benci,” kataku marah.
Namun kemarahanku tidak ditanggapi. Jay tetap terlihat angkuh dan egois. Dalam hati aku mulai menimbang-nimbang kata cerai itu, kata yang dulu paling aku benci. Dan ternyata sebelum kulahirkan dari mulutku kata tersebut meluncur dari mulut Jay.
“Keinginan bercerai ini bahkan lebih kuat dari keinginanku untuk menikah dengannya waktu itu,” kataku mengakhiri cerita panjangku.
cerpen harta yang tersisa
Maya masih duduk di sofa menyimak dengan penuh perhatian. Namun ada sedikit keraguan yang kutangkap dari sudut matanya dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Dia mendekatkan wajahnya dan bertanya pelan
“ Patrick ?”
Hah. Mendengar nama itu aku langsung gelagapan. Tersipu-sipu di atas sofa untuk selanjutnya tertawa keras.
“Just friend”.kataku di tengah tawa.
“Sungguh ? Tapi kamu tidak harus berciuman di malam itu jika kalian cuma berteman”.
“Ya ampun, May. Bule gila itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Jay.”
“Rudi?”
“Dia bukan tipeku. Terlalu kalem dan penurut. Kelihatan bodoh”
“Lalu seperti apa tipemu itu”.
“yaah…. yang sedikit angkuh dan garang barangkali.”
“Seperti Bram ?” Tebak Maya.
Bersamaan dengan itu handphoneku yang dari tadi tergeletak di dekat kami berbunyi nyaring. Kami sama-sama melihat nama yang muncul di layarnya.
“Bram !”
Hahahahaha….. tawa kami meledak kembali di dalam rumah bercat ungu itu. Satu- satunya hartaku yang tersisa.{*}
Baca juga : Cerpen islami : Mantra Ajaib Badrul