Hampir setahun Bang Marno tinggal bersama kami. Dia orang asing. Dan ketika dia mendadak pulang kampung tadi pagi dia tetap orang asing bagi kami. Terutama bagi Dewi dan aku.
Diantara kami bertiga cuma adikku Dewo yang masih berani bicara dengannya. Itupun hanya untuk menyampaikan sesuatu yang penting. Alhasil, Bang Marno yang memang bertampang seram itu cuma kelihatan bicara sama ibu.
Lagipula dia jarang di rumah. Tiap malam mantan tukang parkir liar merangkap preman di pasar lama itu keluyuran entah kemana. Tapi kami bersaudara senang kalau laki-laki itu tidak ada di rumah.
Dalam hati aku berharap agar suami ibu itu tidak kembali lagi ke rumah. Karena dia sudah menyakiti perasaan ibu. Tapi bagaimana dengan Ibu? Aku ragu.
Aku tidak menceritakan pada Dewi kalau Bang Marno pulang untuk menemui istri pertamanya, walau Dewi tentu tidak terlalu peduli dengan hal itu. Tapi mulutnya yang ceplas-ceplos itu sering menyakiti perasaan ibu.
Mungkin karena aku anak yang paling tua, ibu berani menyampaikan padaku. Mungkin juga karena aku tak mau secara langsung memojokkan ibu seperti halnya Dewi.
“Kog ibu mau kawin sama Bang Marno, orangnya seperti itu?” atau “Suami ibu kok seperti itu, dibikinin kopi malah dibuang ke tanah, emang apaan!.”
Biasanya kalau mendengar seperti itu, Ibu cuma diam seribu bahasa. Tidak bisa menjawab. Tidak mau mengutarakan alasannya. Ibu cuma pernah bilang sekilas “Bang Marno itu punya kemiripan sama ayahmu!
***
Ibu sebenarnya masih muda dan cantik. Sehingga di kampung ini ada beberapa yang menaruh hati pada ibu. Melihat dari perhatiannya dan seringnya main ke rumah. Sampai bawa oleh-oleh segala.
Contohnya Haji Hamdan. Duda usia enam puluhan yang sering jadi imam di mesjid. Walau hidupnya sederhana tapi beliau orangnya halim, rajin ibadah dan sudah haji pula.
Haji Hamdan tiap sore mengajari kami mengaji di mesjid. Walau tidak berani menyampaikan secara terang-terangan demi menjaga wibawanya sebagai Pak Haji dan imam mesjid, bapak tua ini paling sering menanyakan ibu.
“Bagaimana keadaan ibu kalian? Sehat? Alhamdulillah. Sampaikan salam bapak ya, ajak-ajaklah kemari supaya melihat sudah sampai dimana bacaan kalian.”
Sementara Om Guntur, tidak pakai sungkan-sungkan lagi. Bapak satu ini memang sudah punya istri dan anak, tapi dia orang kaya. Kalau main ke rumah pasti bawa oleh-oleh.Orangnya lucu dan menyenangkan. Suka bagi-bagi duit.
Om Guntur pernah bilang “Gadis, Dewi,Dewo, kalo Om Guntur jadi ayah kalian, kalian mau tidak? Nanti kita tinggal sama-sama di rumah Om yang besar. Om yang mengantarkan sekolah, Om juga yang jemput pakai mobil om yang itu. Mama kalian tidak capek kerja lagi, biar om yang kasih duit.”
“Om kan sudah punya istri!” protes kami bertiga.
“Ya tidak apa-apa toh. Istri om rela kog. Ikhlas lahir bathin.”akunya.
“Punya istri dua ndak apa-apa nak yang penting bisa berbuat adil. Kyai saja ada yang beristri dua, tiga malah. Ya ndak apa-apa toh. Itu ibadah namanya.
***
Setelah ibu menikah lagi. Tanpa pemberitahuan sebelumnya dan tanpa hajatan, tiba-tiba saja Bang Marno sudah tinggal di rumah. Tentu saja kami kaget.
Karakter Bang Marno yang terkenal keras dan garang membuat kami takut untuk tinggal bersama dengannya. Tapi sebelum kami protes ibu berucap
“Ibu tetap sayang sama kalian dan jika kalian juga sayang dengan ayah kalian, kalian pasti mau menerima Bang Marno kan?.”
Benar-benar aneh. Apa hubungannya Bang Marno dengan ayah. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran ibu.
Aku, Dewi serta Dewo kecewa dengan suami pilihan ibu. Bang Marno yang pengangguran seperti numpang makan dan tidur saja di rumah kami. Selalu pulang tengah malam dalam keadaan wajah merah dan sempoyongan. Suka mengoceh kalau makanannya kurang enak, marah kalo kopinya pahit atau kemanisan.
Kalau sudah bertengkar dengan ibu, hancurlah perabotan di rumah, kursi dilempar, meja dipukul, piring di banting.
“Benar-benar monster,” gerutuku geram.
“Iya, ibu tak pernah berani melawan,” sahut Dewi.
“Kalau ibu melawan , bajingan itu akan berbuat kasar.”
“Itu kesalahan ibu mau menikah dengan seorang preman!” tandas Dewi.
***
Aku masuk ke kamar ibu setelah terlebih dahulu mengintip dari balik tirai. Aroma balsam dan minyak angin langsung menyergap hidungku.
Kulihat perempuan separuh baya itu terbaring, merenung, menatap dinding kamar. Tampak bingkai foto Ayah terpajang disana.
Ah, ibu kembali memasang foto itu setelah setahun menyimpannya. Ehm, mungkin ibu merasa kehilangan sosok ayah kami. Ibu pasti menyesali pernikahannya dengan Bang Marno.
Aku duduk di atas tempat tidur persis di bawah kakinya. Kupijat kakinya pelan seperti yang sering kulakukan.
“Ibu belum makan juga, saya ambilkan ya?” bujukku.
“Dari pagi ibu belum makan, kalau sore ini ibu belum makan juga, ibu bisa sakit.”
Ibu menatapku “Kalian saja dulu yang makan, ibu belum lapar. Biar ibu makan pecal saja”.
“Ibu ingin makan pecal? Saya belikan ya?”
“Nanti sajalah. Ibu belum lapar. Adik-adikmu mana?”
“Tuh di luar! Lagi nonton tv.”
Ibu terdiam. Seperti ada yang ingin dikatakan. Ibu seperti menyimpan beban. Aku perhatikan wajahnya. Mata ibu bengkak , sepertinya seember penuh air mata sudah mengalir di sana.
Minyak kapak di botol kecil diusapkan perlahan di dahinya. Setelah itu ujung botolnya diendus-endus di hidung. Migrain ibu pasti kambuh karena terlalu banyak berpikir.
***
Aku mulai tak sabar melihat ibu diam saja. Mau langsung bertanya juga tidak enak. Apalagi mau mengungkit soal istri tua Bang Marno . Sudah jelas ibu terpukul.
“Itu foto ayah? Gagah ya?” ucapku basa-basi. Di foto ukuran 10 R itu ayah tampak gagah dengan jaket kulit hitamnya yang melekat kencang
.Disampingnya tampak ibu yang masih muda bergelayut manja . Ibu cantik sekali di foto itu. Walaupun riasan wajahnya agak sedikit menor.
Ibu mengangguk. Tersenyum kecil. “Ayahmu memang gagah, makanya banyak yang naksir.”
Akhirnya ibu mau juga membuka mulut.
“Termasuk ibu kan ?’ godaku lagi.
Tapi ibu malah berpaling. Malah terdiam kembali. Ada lima menit baru dijawabnya.
“Ya…, ibu sebenarnya masih mencintai ayahmu. Makanya ibu menginginkan suami yang seperti ayahmu juga.”
Aku menghentikan pijatan di kakinya.
“Apanya yang mirip Bang Marno? Apanya yang mirip Ayah?”
“Sikapnya, karakternya, persis ayahmu!”
“Tidak mungkin! Bang Marno itu orangnya keras, kasar, suka mabuk, berjudi…..”
“Ya! Persis Ayahmu!”
Ibu bangun seketika. Matanya nyalang menatapku. “Ayahmu juga seperti itu. Setiap pulang tengah malam itu ayahmu dalam keadaan mabuk. Uang hasil dagang ibu dipakai buat taruhan. Ayahmu juga pengangguran. Lebih parah, ayahmu suka main perempuan. Dewi dan Dewo baru tiga bulan di perut ibu ketika ayahmu kedapatan ‘main’ sama istri orang. Suaminya mengamuk hingga membunuh ayahmu. Padahal dia teman ayahmu juga.”
Usai mengatakan itu dengan penuh amarah, mata ibu berkaca-kaca. .
“Tidak mungkin., tidak mungkin,” desisku. Rasanya mengerikan sekali kalau ini kenyataan.
“Tapi ayah tidak memiliki istri lain selain ibu kan?” Aku tahu percuma saja bertanya seperti itu. Semua yang ibu katakan tadi telah membalikkan 180 derajat pandanganku tentang ayah.
Melihatku yang mulai menitikkan air mata, ibu menjadi serba salah. Segera direngkuhnya tubuhku.
“Bagaimanapun, apapun yang telah dilakukan ayahmu, ibu tetap mencintai ayahmu karena dia adalah ayah kalian” bisiknya ditelingaku.
Tapi aku sudah terlanjur kecewa. Apakah Dewi dan Dewo harus tahu ini semua? Mereka telah menampilkan gambaran yang bagus dibenaknya tentang ayah.
“Tapi mengapa ibu mau menikah dengan Bang Marno? Dia cuma menyakiti ibu saja.” kataku lagi.
Ibu tertunduk sembari berkata “ibu tidak tahu kalau dia punya istri dan anak di kampung. Istrinya baru saja pulang dari Arab, jadi TKW di sana.
***
Kayaknya benar-benar tidak nyambung jalan pikiranku sama ibu. Jadi ibu hanya menyesalkan kebohongan Bang Marno yang satu ini. Sementara sikapnya yang lain, yang menurutku lebih buruk, apakah ibu bisa menerimanya?
“Apakah dia akan kembali kesini lagi?” tanyaku akhirnya.
“Mana ibu tau !”
“Ibu maunya seperti apa?”
“Kalian sendiri?”
“Kog ibu malah tanyakan kami?’
“Ibu tahu kalian tidak senang dengan Bang Marno.”
“Memang tidak ada alasan untuk senang kan?”
Ibu terdiam.
“Ibu masih cantik, masih bisa dapat orang baik-baik, kayaak….Pak Haji!”
“Pak Haji?”
“Iya, Pak Haji Hamdan! Guru ngajiku, dia suka menanyakan ibu.”
Kalau Om Guntur tidak usah ditanyakan ke ibu. Ibu sudah tahu. Tapi kami sepakat menolak Om Guntur karena dia telah berkeluarga.
“Ah, ibu ndak pantas toh…gimana sih kamu..”ibu tersipu-sipu.
“Ndak pantas bagaimana?”
“Ya tidak pantas ! Dia itu siapa? Imam mesjid, guru ngaji, sudah haji pula!” Ibu mulai cekikikan.(Aku tidak begitu senang jika melihat ibu cekikikan seperti ini)
“Ya lebih bagus kan, ibu ini gimana sih?” tanyaku tak habis pikir.
“Ah, kamu tidak mengerti!”
“Ibu merasa Pak Haji terlalu ketuaan buat ibu ya?”
“bukan begitu.”
“Terus apa?”
Ibu diam. Seperti malas melanjutkan. Ibu kembali menatap foto ayah. Tiba-tiba wajah Dewi muncul di balik tirai pintu kamar dan langsung cengengesan.
“Halo ma’.” Ucapnya cengar-cengir, lalu duduk di samping ibu, memeluk dengan gayanya yang manja dan kekanakan. Kalau sudah begini pembicaraan tadi tidak mungkin dilanjutkan lagi.
***
“Ibu mau kubelikan pecal sekarang ?” tanyaku akhirnya.
Ibu mengangguk.
“Aku juga mbak !” seru Dewi. Anak gendut ini tidak pernah ketinggalan kalau soal makanan.
Sesampai di kamar untuk mengambil uang pecal, aku masih mendengar celotehannya.
“Ini baru ayahku. Ganteng kan kayak Sharukh Khan.” Sahut Dewi bangga. “ Foto Ini waktu ibu masih di kota ya?”.
“Iya, itu sebelum menikah”.
“ Ibu ketemu ayah dimana?”
“Dimana ya? di “pasar malam”.
“Lagi jalan-jalan gitu di pasar malam.”
“Ehmm..apa ya….ibu lagi jualan.”
“Jualan? Jualan apa?”
“Yaa jualan… “Jualan barang”.”
“Terus ayah?”
“Ayah langganan ibu. Dari situ akhirnya ibu mulai jatuh hati pada ayahmu. Ketika ayahmu mengajak ibu menikah, ibu bahagia sekali. Ibu akhirnya meninggalkan pekerjaan ibu.”
“Pekerjaan ibu? pekerjaan yang mana?”
“Ya pekerjaan yang tadi, yang jualan itu. Kog kamu pikun sih kayak Pak Haji Hamdan”
Terdengar suara cekikikan Dewi mendengar ocehan ibu yang seperti sudah lupa dengan kesedihannya. Sementara aku meringis di kamar menangkap pengakuan itu. Air mataku tumpah deras sekali tapi celotehan di balik kamar ibu tetap hangat.
“Dewi mau ayah baru asal baik dan bertanggung jawab, tidak mau kayak Bang Marno.”
“Iya. Nanti ibu cariin.”
“Juga yang duitnya banyak.”
“Eeeh, ujung-ujungnya duit.”
Dewi ketawa.
Ibu juga ketawa.(*)