Setelah menjejakkan kaki di tanah, tidak butuh waktu lama bagiku keluar dari bandara kecil ini. Menarik koper hitam sembari menyandang tas kulit berisi ijazah dan surat penerimaan kerja, aku berdiri dengan bangga di pelataran bandara.

Disini tidak ada taksi, tentu saja. Maka aku langsung menurut ketika kondektur berkulit gelap itu menuntunku sembari mengangkati koper memasuki bus yang sudah terparkir menunggu penumpang.

Tiba di terminal, aku masih harus mencari angkutan kecil yang akan mengantarku ke dusun Tongkepao. Kampung kelahiranku yang sudah sekitar lima tahun tidak aku tengok.

Wajah bahagia ibu dan bapak melintas dibenakku. Waah, tidak kebayang senangnya mereka apalagi jika ibu dan bapak tahu kalau aku bahkan sudah dapat pekerjaan bagus di salah satu perusahaan milik asing.

Aku memang menahan diri untuk tidak mengungkapkan itu ditelepon, karena ingin menikmati secara langsung ekspresi keceriaan di wajah mereka.

Merasakan kebanggaan orang tua yang telah berhasil mengantarkan anaknya meraih impian adalah satu hal yang tentu selalu dinantikan oleh mereka yang telah menempuh pendidikan tinggi.

“Kamu harus jadi sarjana, biar dapat kerjaan bagus di kota, jangan sampai kamu mengikuti bapakmu, kakekmu, pamanmu, yang kerjanya cuma menggarap sawah saja.”Itulah harapan mereka.

Walaupun sapi dua ekor harus direlakan untuk itu dan sawah yang kami miliki kabarnya pun sudah tinggal sepetak.

cerpen dusun yang semakin jauh

Dusun tongkepao belum nampak di depan mataku. Dusunku memang terletak dipelosok desa ini. Pemandangan di sepanjang jalan menuju dusunku masih didominasi areal persawahan.

Nyaris tak ada perubahan di daerah ini semenjak aku kecil, kecuali pohon-pohon yang mulai amat jarang dan sawah-sawah yang kebanjiran.

Rumah penduduk masih tampak sederhana dengan dinding anyaman bambu. Sekolah dasar tidak jauh berbeda keadaanya. Beberapa anak-anak sekolah dasar tampak berlarian mencoba mengejar sebuah truk yang berisi tumpukan sayur, persis kelakuanku dulu setiap pulang sekolah.

cerpen dusun yang semakin jauh

Aku mencoba menangkap samar-samar gambaran desaku beberapa tahun silam. Memungut kenangan yang mungkin terselip diantara bulir-bulir padi yang merunduk, ladang jagung, daun pohon kelapa tua yang bergoyang, dangau, bebek-bebek, kambing, lenguh kerbau berendam lumpur.

Betapa aku dulu begitu menikmati berlari-larian di sepanjang areal persawahan itu. Mengumpulkan belalang dan keong. Mengganyang dua hama jelek itu di atas setumpuk nasi yang kami nikmati bersama. Jika gerah aku dan teman-teman juga biasa berendam di sungai.

Pulang kerumah dengan baju basah adalah hal yang biasa. Desa adalah taman bermain yang luas dan mengasyikkan untuk anak-anak. Tentu akan banyak kenikmatan yang bisa didapatkan di desa ini jika hati masih sederhana dan polos.

Cercerpen dusun yang semakin jauhpen Dusun yang Semakin Jauh

Masa remajaku sendiri kurang menyenangkan. Aku kurang menonjol dibandingkan Samin ataupun Ilham, yang bapaknya pegawai kelurahan. Petani dipandang membosankan, tradisional, kampungan, pekerjaan sebagian besar warga dusun.

Untuk ukuran orang desa, jadi pegawai atau kerja kantoran akan dipandang lebih Wah. Orang di kampungku tak segan melepas sawah dan ladangnya agar bisa lolos jadi pegawai negeri. Apalagi kalau sudah jadi sarjana dan karyawan perusahaan di kota, bisa dobel gengsinya. Aku tersipu-sipu. Bahagia rasanya menjadi orang terpelajar dari sebagian besar warga yang bodoh dan terbelakang.

cerpen dusun yang semakin jauh

Aku mulai gelisah. Dusun tongkepao belum nampak di depan mataku. Aku masih berada di sebuah jalan poros desa yang tidak begitu lebar diapit hamparan sawah yang terendam oleh air. Jalanan desa yang berbatu-batu dan sedikit menanjak membuatku kurang nyaman. Ditambah dengan lubang-lubang yang menganga di sepanjang jalan, membuat kepalaku sempat terantuk di jendela bus kecil ini.

Aku harus menarik nafas setiap saat dan memegang erat-erat sandaran tempat duduk di depanku. Hembusan angin sejuk yang menerobos masuk ke jendela, sedikit menyegarkan wajahku yang mulai lesu.

Aku menoleh ke belakang. Tinggal aku sendiri rupanya penumpang yang belum turun. Pak Sopir melirikku dari kaca spion.

“Turun dimana dek?”teriaknya
“Dusun tongkepao pak”
“Oh itu tinggal lurus saja dek. Bis ini sudah tidak bisa melalui jembatan rusak itu. Berbahaya. Bapak harus berbelok di sini, langsung ke pasar lama”.

cerpen dusun yang semakin jauh

Sial! Aku harus turun. Berjalan kaki untuk menemukan dusunku yang entah mengapa semakin jauh saja jaraknya.Memakai jaket hitam dengan koper besar yang susah payah melewati jalan kasar berbatu, tentu bukanlah pemandangan yang lumrah di kampung ini.

Antara lelah dan sedikit malu-malu, aku berusaha mengenali wajah mereka yang lalu lalang. Berharap ada yang bisa menjelaskan letak dusunku yang rasanya semakin jauh saja jaraknya.

Aku menggerutu, kenapa juga di desa ini sinyal handphone tidak dapat tertangkap dengan baik sehingga aku tidak pernah dapat berkomunikasi dengan leluasa. Mau tidak mau aku harus terus berjalan menelusuri jalan desa agar bisa segera sampai di rumah.

Namun sudah hampir satu jam berjalan dengan peluh yang mengucur, dusunku belum tampak juga. Kelelahan tak terbendung lagi.

cerpen dusun yang semakin jauh

Ada sebuah surau kecil. Seorang pria setengah tua keluar, berkacamata minus dengan jenggot tipis tanpa kumis. Tiba-tiba matanya langsung berbinar.

“Ya Allah, Dek Bahrul?”serunya.

Aku langsung mengangguk lega.
“Pak Darmo” aku membungkuk meraih tangannya. Menggenggam erat .

Aku bersyukur akhirnya ada juga orang yang mengenaliku, itu pertanda letak dusunku tidak jauh lagi.

Pak Darmo mengamati bawaanku “Dari mana mau kemana?”tanyanya heran.

“Mau ke Tongkepao pak, tadinya naik angkutan tapi di turunkan dekat jembatan sana. Tampaknya tidak ada tumpangan lagi yang bisa menuju ke Tongkepao ya pak”.

Pak Darmo yang selama ini dikenal bersahaja menggangguk pelan.
“Bukankah sejak dulu cuma angkutan kecil itu saja yang hilir mudik di sini,”ucapnya, mengingatkanku.

Aku mengangguk lemah. Rasanya tak kuat berlama-lama berdiri seperti ini.

Kelelahanku tertangkap dengan baik oleh pak Darmo. Dia langsung mengajakku kebelakang surau yang juga merupakan tempat tinggalnya.

Sembari berjalan aku ceritakan kalau sudah lima tahun ini aku tak pernah pulang ke desa. Akibat kesibukanku sebagai mahasiswa. Dengan bangga kuberi tahu padanya kalau aku baru saja menyelesaikan pendidikanku di kota.

cerpen dusun yang semakin jauh

Rumah pak Darmo masih terlihat sederhana padahal sepengetahuan dia orang yang cukup sukses di desa ini. Seingatku dia juga selalu aktif menghimpun pemuda-pemuda di desa untuk mendapatkan keterampilan praktis pertanian dan peternakan.

Pengetahuan itu didapatnya dari bangku kuliah yang diselesaikan di kota. Sama halnya seperti aku. Dia pun lulusan perguruan tinggi. Hanya saja dia tidak seberuntung aku yang langsung mendapatkan pekerjaan di perusahaan asing tempatku magang.

Aku dipersilahkan duduk dengan ramah. Tampak jejeran berbagai jenis bibit tanaman buah dalam plastik hitam di letakkan sedemikian rupa di depan teras rumahnya. Jumlahnya mungkin ada ratusan. Dari dulu pohon-pohon buah di pekarangan rumahnya dibiarkan tumbuh subur. Membuat suasana di sekitar rumah tampak asri dan nyaman.

“Begitulah Dek Bahrul, kemajuan pembangunan belum bisa dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat desa” Pak Darmo langsung membuka percakapan setelah menyuguhkan air dingin dan pisang goreng.

“Jembatan itu contohnya. Sudah bertahun-tahun dibiarkan terbengkalai. Jalur distribusi menjadi terhambat. Akibatnya perekonomian warga pun menjadi tersendat”.

Aku mengangguk-angguk membenarkan. Air dingin terasa sejuk di tenggorokanku.

“Ya, belum apa-apa aku sudah merasakan dampaknya” gerutuku acuh tak acuh sembari mengunyah pisang goreng.

Pak Darmo menatapku bening “Beberapa tahun terakhir perekonomian di desa ini semakin merosot, kondisi cuaca yang tidak menentu ditambah jalur distribusi yang buruk membuat warga yang mayoritas petani melarat. Panen seringkali gagal,” ucapnya lirih.

Aku hanya terdiam menatapnya. Pisang goreng yang disuguhkan nyaris habis. Aku harus melanjutkan perjalananku sebelum petang. Ibu pasti sudah gelisah di rumah.

“Bagaimana kabarnya kota? Saya dengar makin pesat saja?” tanyanya.
“Ya, banyak gedung-gedung tinggi yang dibangun,”jawabku.

Pak Darmo tertawa getir. “ Kota semakin melesat seperti meteor. Semakin sulit buat desa sengsara ini mengejarnya . Desa kita semakin lama akan semakin terbelakang ditinggal kemajuan kota.”

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku. Aku sebenarnya senang kami bercakap ‘tingkat tinggi’ seperti ini. Walau aku berharap dia bertanya lebih lanjut mengenai kuliahku yang telah rampung dengan prestasi akademik di atas rata-rata itu dan juga tentang pekerjaan menarik yang telah kudapatkan di kota. Namun aku melihat tampaknya tiada lagi yang ada di pikirannya selain menyangkut kemajuan desanya ini.

cerpen dusun yang semakin jauh

Sembari menatap jejeran tanaman yang memenuhi halaman rumahnya, ia kembali berujar “Dek Bahrul, saat ini kami berupaya mensosialisasikan wawasan lingkungan kepada warga desa dengan membagi-bagikan bibit pohon produktif. Akibat kelangkaan bahan bakar banyak pohon di hutan yang ditebangi untuk dijadikan kayu bakar. Hanya saja, sumber daya intelektual di desa ini sangat jarang. Syukur-syukur kalau ada orang seperti Dek Bahrul, yang masih mau balik ke kampung setelah menjadi sarjana.”

Aku tersenyum mendapat pujian darinya tapi pada saat itu juga ada desir halus yang menyergap dadaku.

“Soalnya jarang sekali terjadi anak yang telah menempuh pendidikan mau kembali untuk membangun kampungnya.” lanjutnya kembali. .

Aku terdiam.

“Dek Bahrul, sampai saat ini kami terus melakukan pembinaan kepada warga desa. Mencoba membuka mata mereka untuk melihat berbagai potensi yang ada yang mungkin bisa dikembangkan di desa ini. Banyak kok yang bisa kita lakukan asal kita mau belajar. Apalagi jika usia kita masih produktif dan sudah memiliki pengetahuan soal ini, macam dek Bahrul, ilmu yang dimiliki akan lebih bermanfaat, iya kan?”

Aku mengangguk segan.

“Mudah-mudahan dengan pemahaman kita terhadap masalah ini kita bisa ikut memberdayakan desa kita ke depannya. Karena kalau bukan kita sendiri siapa lagi yang akan membangun desa ini?”.

Aku cuma diam sembari mengangguk-anggukan kepala kayak orang bodoh. Syukur aku belum sempat mengumbar masalah pekerjaan yang telah kudapatkan di kota. Jadi kubiarkan saja Pak Darmo berpikir sebaliknya.

Sesungguhnya aku hanya akan seminggu di desa terpencil ini. Berpikir akan kembali menetap atau tinggal selamanya sudah jauh dari pikiranku. Betapa geliat kehidupan kota nyatanya lebih memikat dibandingkan areal persawahan yang kebanjiran ini.

Aku akhirnya harus melanjutkan perjalanan. Pak Darmo mengantarkan sampai dipinggir jalan.
“Terus saja lurus dek Bahrul, desa tidak pernah meninggalkan kita walau kita sebaliknya”
“Terimakasih banyak Pak”. Aku tak tahu harus berkata apa lagi.
“Syukurlah dusun Tongkepao seminggu yang lalu sudah lepas dari kasus gizi buruk”.

Cerpencerpen dusun yang semakin jauh

Desa tidak pernah meninggalkan kita! Tapi aku merasa sebaliknya. Jalan kasar berbatu ini rasanya sudah seharian aku susuri. Aku mengumpat sepanjang perjalanan. Orang-orang yang kulewati melihatku asing. Mengamatiku curiga.

“Kata pak lurah segera laporkan jika ada orang baru yang mencurigakan” terdengar bisik-bisik akibat angin yang berhembus kencang. Dua orang pria duduk-duduk di pinggir jalan desa.

“iya, sekarang lagi ramai di televisi, teroris kan?”

Dasar orang dusun! Aku memaki dalam hati.

Namun hingga petang dan sudah sejauh ini aku berjalan, Dusunku belum jua nampak di depan mataku. Setiap orang yang kutanya hanya memintaku untuk terus lurus mengikuti jalan desa yang berbatu.

Aku tak habis pikir. Mengapa dusunku semakin jauh saja jaraknya?. Aku terduduk lesu di tengah jalan desa yang semakin sepi dan gelap. (*)

Baca juga : Cerpen : Sang Fotografer dan Bocah-bocah Pribumi

Asria Ali

Sedang menulis

Artikel yang Disarankan