Cahaya matahari yang jatuh di sebuah perkampungan di dekat hutan tidak pernah menggapai kali yang keruh itu. Hampir sepanjang kali teduh dan gelap. Dinaungi oleh pohon jati yang tumbuh tak beraturan dan batang bambu yang beranak pinak di antara semak belukar. Semak belukar yang rimbun menjadi tempat yang nyaman untuk ular bertubuh besar yang seringkali tampak di kali dan melata di perkampungan

Para bocah pribumi itu sudah cemplung ke kali untuk mandi. Mereka teriak-teriak kegirangan saling mencipratkan air. Menyelam ke dasar kali lalu timbul lagi ke permukaan. Bocah-bocah berkulit coklat ini bukannya tidak menyadari bahaya yang bisa saja mengancam mereka. Mereka telah belajar menguasai alam tanpa harus merusaknya.

Saat ini permukaan air kali sejajar dengan cuping telinga Sarip saat dia berdiri tegak di dasar kali. Dia membiarkan air keruh itu mengalir ke mulutnya untuk disemprotkan ke arah Banu yang tidak sempat menghindar. Banu tergelak dan membalas melakukan hal yang serupa.

Anna berdiri di atas gundukan tanah merah dengan kaki mungilnya yang terbungkus sepatu bot. Wajahnya bulat telur dengan pipi yang kemerahan. Kulitnya putih pucat di kelilingi bintik-bintik kecoklatan seperti tahi lalat. Dia memang blasteran Indo – Belanda. Ibunya meninggalkan negeri ini ini setelah menikah dengan Ayahnya yang asli Belanda.

Kini Anna dan Ayahnya mencoba menjejaki kampung kelahiran ibunya yang terletak di sebuah negeri yang tentu bermil-mil jauhnya dari kampung kelahiran Anna di belanda. Negeri dimana tetangganya Charles yang dikenal paling bodoh menyebut sebagai negeri antah berantah.

Cerpen Sang fotografer dan bocah-bocah pribumi

Anna terkesima mengamati tingkah teman-teman barunya itu. Air di kolam renang rumahnya, dia bahkan tidak akan menggunakannya untuk mandi walau air di kolam itu masih kelihatan jernih. Dia akan merendam badannya dengan busa sabun setiap kali habis berenang. Dia melirik ke jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Wajahnya terlihat serius. Dia menghitung sudah satu jam lebih bocah-bocah pribumi itu menghabiskan waktu bersama air yang keruh itu.

Cerpen Sang fotografer dan bocah-bocah pribumi

Entah karena merasa sudah cukup bersih atau mulai jenuh, para bocah itu menghentikan mandi bersama. Sosok Anna, perempuan berkulit putih dengan kamera yang diselempangkan di leher dan rambut pendeknya yang kecoklatan, telah menjadi magnet baru buat mereka.

Anna, perempuan mungil yang lincah dan pandai ini baru dua pekan yang lalu terbang dari Belanda. Entah untuk keperluan apa, turis kecil ini sering banyak memotret sesuatu yang tidak dimengerti oleh mereka.

Dengan bersepatu bot dia lincah melewati jalan kampung yang rusak parah, yang tanahnya tergerus oleh air. Beberapa kali dia terjatuh karena sepatunya yang tampak kebesaran itu menyangkut di ranting atau terperosok ke lubang yang tertutupi daun-daun tua.

Dia tidak menangis seperti anak perempuan pada umumnya, dia hanya meringis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebuah kamera yang tampak besar untuk tangan mungilnya tidak berhenti memotret petualangan Sarip dan kawan-kawannya.

“Aku akan membawa kalian ke Belanda dengan foto kalian di kameraku ini” kata Anna tertawa.

Cerpen Sang fotografer dan bocah-bocah pribumi

Mereka lalu menuju jalan poros kampung. Banu dan Ato berjalan di depan sembari mengibas semak dan ranting yang menjulur di depan mereka dengan sabit yang selalu dibawanya. Sementara Sarip melangkah pelan di belakang Anna sambil berusaha merapikan rambutnya yang basah dan berantakan. Matanya terus melirik ke arah Anna. Dia jarang berbicara semenjak kehadiran Anna di kampungnya. Dia seringkali tersenyum malu-malu.

“Anna, kapan kamu kembali ke Belanda,”

Yani melenggang sambil melingkarkan tangannya di bahu teman barunya itu.

Anak perempuan ini hanya hidup berdua dengan neneknya di tengah hutan. Kegesitannya seperti bocah lelaki. Dia mampu memanjat pohon kelapa yang tingginya bukan main. Karena itu dia dijuluki Yani Kera. Langkahnya selalu bersisian dengan Anna yang tinggi tubuhnya tidaklah lebih tinggi darinya. Dia senang mendengar suara Anna yang lembut serta dialeknya yang terdengar lucu.

“Sekitar dua hari lagi.”

“Oh dua hari lagi, apakah Belanda itu dekat dari sini Anna?”

Anna berpikir sejenak “ Oh, jauh sekali, dibalik awan sana.” ucap Anna lucu sambil menunjuk langit.

“Saya harap kamu tidak segera pulang agar kami semua bisa bermain bersama kamu.”

Yani dengan gaya bahasanya yang mencoba mengikuti cara berbicara Anna membuat Banu dan Ato saling berpandangan kemudian menyemburkan tawa. Cuma Sarip yang mencoba menahan tawanya di belakang. Dia risih dengan giginya yang tak beraturan. Membuatnya tampak buruk setiap kali tertawa lebar.

Cerpen Sang fotografer dan bocah-bocah pribumi

Mereka telah tiba di jalanan lebar yang terlihat sepi. Matahari telah membakar jalan yang berbatu-batu itu. Rasa hangat terasa di kulit mereka yang lembab

Di bahu jalan mereka berpapasan dengan seorang bocah perempuan yang memikul sendiri batang-batang kayu yang bertumpuk-tumpuk di belakang punggungnya. Anna memandangnya gemas. Sekali lagi dia membidikkan kameranya, menyorot kepada anak itu. Tapi tampaknya anak perempuan itu tak menyadari kilat sorot kamera yang tadi menerpa tubuhnya. Beban berat di punggung membuatnya membungkuk menunduk-nunduk ke tanah. Ah, Anna begitu perhatian kepada siapa saja. Sarip semakin menyukainya, membuatnya semakin tampak malu.

Cerpen Sang fotografer dan bocah-bocah pribumi

Sarip mulai membayangkan bagaimana jika ia membantu Bang Diman untuk memberi makan sapinya. Dia akan mendapatkan uang untuk membeli permen. Anna pasti senang. Dia ingin membalas karena dari kemarin perempuan berdarah campuran itu yang terus menerus membagi-bagikan permen.

Entah mengapa. Tapi Sarip mulai menyukai Anna. Mungkin karena turis mungil itu selalu tampak perhatian penuh padanya. Anna selalu menemaninya ke sekolah hingga tiba di bibir jembatan. Anna terkesan kala mengetahui jika setiap ke sekolah Sarip selalu melalui jembatan rusak itu. Sebuah jembatan yang mungkin sebentar lagi akan jatuh. Anna tampak terpesona ketika Sarip mulai meniti jembatan itu tanpa rasa takut. Anna memotretnya berkali-kali.

Cerpen Sang fotografer dan bocah-bocah pribumi

Sebuah mobil jip tua datang dari arah timur, dapat di tebak pengemudinya adalah ayah Anna.

“Ayahmu Anna,” seru Ato.

Sarip mendongak.

Tapi Anna malah melirik ke jam tangannya. Tepat pukul 12 siang, dimana ayah berjanji akan menjemputnya..

“Kalian tidak lelah menemani aku selama ini?”ucap Anna membuka tangannya.

“Tidak,” ucap mereka hampir serentak. Anna tertawa.

“Bagaimana jika kita bermain lagi jam lima sore?”ucap Yani polos.

“Tidak baik untuk anak-anak bermain di luar rumah di waktu-waktu seperti itu.”Anna tersenyum. Ucapannya membuatnya tampak lebih dewasa dibanding perawakannya yang mungil itu.

“Bagaimana jika besok pagi?”

Anna tidak menjawab. Dia melambaikan tangannya ke arah jip lalu kembali kepada empat bocah pribumi itu, mengucapkan terima kasihnya yang tulus lalu memeluk mereka satu persatu.

Cerpen Sang fotografer dan bocah-bocah pribumi

Sarip menarik nafasnya berat. Pelukan Anna dan elusan di punggungnya mengingatkan dia dengan ibunya yang meninggalkan kampung dua tahun lalu untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri. Pelukan itu seakan menyiratkan perpisahan yang sebentar lagi bakal terjadi. Tapi dia berusaha menahan perasaannya, karena Anna terlihat tenang-tenang saja.

Ayah Anna tersenyum mengedipkan matanya kepada mereka dari balik kaca jip, membukakan pintu mobil agar putri kecilnya itu melompat naik ke mobil. Jip tua itu bergerak perlahan meninggalkan bocah-bocah pribumi yang masih berdiri membisu memandang ke arah mobil yang bergerak maju meninggalkan mereka.


Cerpen Sang fotografer dan bocah-bocah pribumi

Di dalam jip tua yang susah payah melintasi jalan kampung yang berbatu-batu dengan lubang menganga di sepanjang jalan , Anna membuka kameranya, memencet-mencet, mengecek hasil jepretan kameranya.

“Ayah benar kan? Di negeri ini kamu bisa mendapatkan banyak objek yang dramatis dan ironis, untuk tugas akhirmu,” ayahnya mengedipkan matanya tersenyum.

Anna hanya terdiam. Di layar kamera digital itu tatapannya berbinar pada gambar Sarip yang menggantungkan hidupnya pada seutas tali jembatan.

“Aku paling suka gambar ini……” ucapnya riang, memamerkannya kepada Ayahnya.

“Ayah juga. Itu akan menjadi foto terfavorit di pameran foto musim panas nanti.”

“Ayah pikir aku akan ikut pameran itu?”

“Mengapa tidak? Kamu ingat di pameran musim panas lalu, bagaimana foto bocah negeri ini menjadi pemenang?”

“Ya, foto berjudul: ‘Menanti Kematian’, bukankah Michael Hans fotografernya? karena itu dia menjadi fotografer terbaik di musim panas lalu.”

Ayahnya mengangguk kemudian berkata dengan penuh perasaan “Kamu pun juga akan seperti itu, putriku”.

Anna menyunggingkan senyum lalu menutup kameranya. Matanya kini menerawang keluar jendela mobil.

“Anak-anak itu ……..,” gumamnya.

Ayahnya menoleh “Ayah lihat kamu menikmati bermain dengan anak-anak itu” ayahnya menggodanya

Anna tertawa kecil

“Anak-anak itu memiliki kesan tersendiri tentang negerinya. Kisah suram mereka cukup menarik. Aku juga ingin memasukkan semua cita-cita, impian, khayalan muluk yang kugali di benak mereka di dalam tugas akhirku nanti. Aku yakin akan menyelesaikannya sebelum april,” ucapnya penuh senyum lalu menyandarkan kepala. Memejamkan kedua matanya.

Ayahnya meliriknya bangga“Itu akan menjadi hadiah yang paling indah buat kamu sayang, karena kamu akan diwisuda tepat di hari ulang tahunmu yang ke 25.”(*)Bogor, Mei 2012


Baca : Cerpen islami : Mantra Ajaib Badrul

Asria Ali

Sedang menulis

Artikel yang Disarankan