Di hari yang baik itu, sebuah rumah baru sudah menunggu. Pagi-pagi sekali kami memutuskan untuk menyewa truk, mengangkut seluruh perabotan dan perkakas dari rumah yang lama.
Meski bisa dikatakan sederhana, tapi jelas yang baru ini bukan rumah kontrakan. Kamar tidurnya ada dua dengan ruang tamu kecil dan dapur yang bersatu dengan ruang makan. Cukup untuk keluarga kecil seperti kami yang baru memiliki satu anak.
Seperti umumnya rumah baru di kompleks perumahan, setelah serah terima, rumah ini melalui proses renovasi seadanya.
Terbengkalai selama bertahun-tahun semenjak dibangun. Kaca jendelanya sudah pecah dan beberapa engselnya sudah raib.
Kami memutuskan membeli rumah ini karena rumah ini berada dalam sebuah kompleks dengan pos keamanan di depannya. Jalanan kompleks mulus dan ada taman dengan ayunan buat anak yang ingin bermain. Kelihatannya sangat menyenangkan tinggal disini.cerpen rumah yang selalu tertutup
Kalau pagi begini hanya ibu-ibu muda yang tampak kelihatan hilir mudik menemani anaknya bersepeda atau memilih berkumpul bersama ibu-ibu tetangga sambil ketawa-ketiwi.
Seperti kumpulan yang berada di depan rumah kami. Begitu mengetahui ada penghuni baru di kompleks mereka, mereka tidak mau melewatkan kesempatan untuk melihat bahkan menonton kami menurunkan satu persatu perabotan dari dalam truk.
Aku melemparkan senyum ramah yang kemudian dibalas mereka dengan datang dan menyalami kami. Bertanya asal usul dan memberitahu tentang salah satu fungsi RT. Penghuni baru wajib lapor kata mereka. Juga diberitahu rumah Pak RT yang dari pos satpam belok kiri.
“Persis di samping depan mesjid. Rumah yang berwarna hijau,” kata Ibu yang berbadan gemuk. Yang kemudian kutahu dipanggil Mamanya Putri. Rumahnya tepat di sebelah kiri rumahku.
***
Untuk selanjutnya Mama Putri selalu menyapaku atau berkunjung ke rumah mengajak ngobrol di saat suami kami telah berangkat kerja. Dia datang hampir tiap hari dan kadang sering lupa waktu kalau sudah mengobrol.
Mamanya Putri gaya bicaranya agak ceplas-ceplos. Khas ibu-ibu kompleks yang doyan bergosip. Kadang suka ngelantur membicarakan Ibu RT yang gayanya bukan main katanya atau Pak RT yang mata duitan.
“Hari minggu kemarin kami ingin berkunjung ke rumah depan. Mengenalkan diri sekalian silaturahmi. Tapi tampaknya tak ada orang. Pintu pagarnya tertutup. Apakah mereka memang jarang di rumah?” tanyaku kepada Mamanya Putri saat kami berbincang di teras depan.
Anaknya si Putri dan anakku Siska juga tengah asyik bermain di tamanku yang baru kuhijaukan dengan berbagai macam bunga. Ada bunga kemboja, anthurium dan hephorbia yang bunganya tengah rimbun berwarna merah muda. Namun kulihat tangan jahil Putri mencabuti bunga itu satu persatu
Ketika kutanyakan tentang tetangga depan rumahku itu, Mamanya Putri langsung mendengus kemudian memonyongkan bibirnya yang tipis yang selalu diolesi gincu warna merah menyala
“Mereka orang kaya yang sombong!” katanya memulai mencibir. “Mentang-mentang orang kaya. Tidak mau silaturahmi dengan tetangga sekitar. Mungkin dianggap tidak sekelas atau selevel”.
“Masak begitu?” kataku kurang percaya.
“Lihat saja rumahnya yang selalu tertutup itu,” katanya dengan sudut bibir atas yang terangkat, nyinyir, menunjuk dengan dagu ke arah depan sambil mencomot sepotong kue bolu yang kuhidangkan.
***
Aku terdiam menatap rumah mewah di seberang jalan kecil depan rumahku . Rumah dengan arsitektur yang menarik. Pagar besi tempa yang tinggi sekitar dua meter cukup menghalangi pandangan orang tuk melihat ke dalam rumah. Rumah mewah tapi terkesan kaku. Hanya ada tiga buah pohon palem yang berdiri kaku di depan pagar. Kadang- kadang di sore hari jika tak hujan seorang pembantu keluar tuk menyiramnya.
Kemarin pagi dengan membawa seloyang kue bolu coklat yang masih hangat, aku dan suami bertandang ke rumah depan. Suasana rumah tampak sepi ketika kami mengintip dari balik pagar yang digembok. Berulangkali kami bergantian memencet bel tapi tetap tidak ada sambutan dari rumah tersebut.
“Sepertinya tak ada orang ,” kataku kepada suami. Suamiku mengangguk mengiyakan kemudian mengajak kembali ke rumah kami. Dia bilang akan datang lagi begitu tetangga depan sudah terlihat ada di rumah.
Tapi perkataan Mamanya Putri kali ini tentang tetangga depan rumahku membuatku bimbang untuk berkenalan dengan tetangga depan rumah.
Yang ada aku malah ikut-ikutan mengecam sikap tertutup tetangga depan rumahku itu. Kebencian Mamanya Putri kepada tetangga depan rumahku sepertinya mulai menular kepadaku. Apalagi Mamanya Putri kemudian mengutip kalimat itu:
“Bagaimanapun Mbak, sesama tetangga kita kan harus menjaga tali silaturahmi, saling membantu dan tolong-menolong. Kan tetangga dekat lebih baik daripada keluarga yang jauh,” ceramahnya dengan penuh emosi.
Aku langsung mengiyakan kata-katanya. Dia kemudian bercerita tentang anaknya Putri yang rencananya akan berulang tahun yang ke 5. Gaya bicaranya kali ini lebih kalem
“Rencananya aku mau bikinkan pesta di rumah, tapi gaji bapaknya belum cukup untuk itu, maklum cuma pegawai biasa. Bolehkan minta bantuannya ?” katanya.
Dia akhirnya pulang dari rumahku menjelang maghrib dengan membawa beberapa lembar uang ratusan ribu yang kupinjamkan.
***
“ Jadi sekarang Mama di rumah ada yang menemani. Setidaknya Mama sudah menunjukkan kalo Mama menjaga hubungan yang baik dengan tetangga,” kata suamiku malam-malam ketika kuceritakan tentang obrolanku dengan Mamanya Putri.
Aku baru saja meletakkan secangkir kopi hangat di depan suamiku yang baru saja menyelesaikan shalat isya ketika kusinggung tentang tetangga depan rumah kami.
“Tentu saja Pa, bagaimana pun tetangga yang dekat lebih baik dari keluarga yang jauh. Jadi sudah selayaknya kita menjalin tali silaturahmi dengan tetangga sekitar kita,” kataku mengutip perkataan Mamanya Putri sekaligus menyindir tetangga depan rumahku.
Suamiku tersenyum“Memangnya apa yang dikatakan Mamanya Putri?” kata Suamiku lagi.
Aku mengecilkan suaraku “ Dia bilang kita tidak perlu mengenalkan diri dengan tetangga depan rumah kita. Mereka sangat sombong. Jarang bersua dengan tetangga sekitar kompleks. Apalagi istrinya itu, dia bahkan tidak pernah terlihat dalam pertemuan para ibu-ibu di kompleks ini.”
Suamiku tertawa.
“Sekarang Mama sudah pandai bergosip” katanya mencela. “Tadi pagi aku telah bertemu dengan tetangga depan rumah kita saat mereka akan berangkat kerja . Kami saling menyapa. Mereka sangat ramah dan tak ada tampak jika mereka seorang yang sombong.”
Aku terdiam sejenak.“Tapi kata Mamanya Putri. Dia tidak pernah mau bergaul dengan siapapun. Selalu menutup pagar besinya yang tinggi itu. Seperti menjaga jarak dengan tetangga sekitar,” ucapku.
Suamiku hanya mengangkat bahunya.
***
Esoknya Mamanya Putri datang lagi, ketika suamiku berangkat kerja. Mulutnya bersungut-sungut, menarik tangan anaknya kesal. Anaknya si Putri terlihat uring-uringan, ngambek sejadi-jadinya. Air matanya seperti baru berhenti mengalir. Meyisakan lelehan ingus yang kemudian dibasuh oleh ujung daster si ibu. Putri masuk ke dalam rumahku tanpa melepas sendalnya.
“Ada apa?” tanyaku pada Mamanya Putri.
“Baru saja dia bertengkar dengan anaknya Bu Retno, badannya didorong hingga jatuh, sudah saya ingatkan jangan bermain dengan anaknya itu, sudah tahu anak itu bandelnya bukan main, kasar kayak bapaknya, bawel seperti ibunya, anak brengsek!.” cerocosnya murka.
Nadanya tinggi saat mengucapkan itu. Dan aku berharap tidak ada orang yang lewat di depan rumahku yang menangkap kata-kata kasarnya, apalagi jika yang mendengar adalah Bu Retno yang rumahnya hanya berjarak satu blok denganku. Bisa jadi rumahku akan menjadi arena pertengkaran bodoh mereka.
***
Sore hari ketika menemani anakku Siska bermain sepeda, aku bertemu dengan Bu Retno ketika aku mampir di warungnya mengikuti rengekan Siska yang menginginkan dibelikan permen coklat. Bu Retno menanyakan apakah aku sekarang begitu akrab dengan Mamanya Putri. Aku bilang biasa saja.
Dia lalu menunjukkan kekesalannya kepada tetangga sebelah rumahku itu. Nyaris seperti Mamanya Putri cara dia marah dan berbicara. Mulutnya dimonyongkan. Mencibir mamanya Putri sebagai penjilat dan doyan berutang tapi suka pura-pura lupa.
“Semua warung di sini sudah jadi korbannya, Dia kan kalau mengambil barang suka seenaknya tapi jika ditagih selalu mengaku tidak punya duit. Kalau masih punya utang kenapa sok-sok pamer handphone keluaran terbaru, kesal kan jadinya Bu?”
Aku langsung teringat dengan beberapa lembar ratusan ribu yang kupinjamkan pada Mamanya Putri. Tiba-tiba ada kekhawatiran yang menyergapku mengingat uang tersebut rencananya akan digunakan untuk biaya Siska masuk TK.
Apakah aku termasuk korban utangan Mamanya Putri? Bisa jadi dia juga tidak akan melunasi utang tersebut mengingat utang sebelumnya di tempat lain pun belum juga dilunasi.
Akh, aku jadi menyesal meminjamkan uang tersebut dengan begitu mudahnya. Apalagi alasan Mamanya Putri meminjam uang tersebut hanya untuk membuatkan pesta ultah yang meriah untuk si Putri. Lama aku tercenung memikirkan itu hingga Bu Retno bertanya curiga
“Kenapa Bu ? Dia juga meminta utangan sama Ibu?” tanyanya mencoba menebak.
Aku mengangguk lemah.
“Berapa Bu ?”
“Lima ratus ribu,” jawabku.
“Ya ampun, kenapa dikasih Bu?” Bu Retno membuang udara dari lubang hidungnya yang pesek sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia berharap suatu saat ada seseorang yang sudi menampar wajah Mamanya Putri.
***
Hampir Maghrib ketika aku memasuki pintu rumah yang baru sebulan ini aku huni. Suamiku sudah tiba di rumah. Bahkan sudah mandi dan wangi. Bersiap-siap mengambil air wudhu.
“Ayo shalat berjamaah,” ajaknya lembut.
“Aku mandi dulu,” kataku pelan. Setelah shalat berjamaah itu aku merasa tidak perlu berprasangka buruk terhadap Mamanya Putri. Aku berusaha menjadi lebih ikhlas dan sabar.
***
Tidak seperti biasanya, selama seminggu Mamanya Putri tidak mengunjungiku ke rumah. Biasanya nyaris hampir tiap hari dia bertandang ke rumahku dengan menggandeng anaknya. Bahkan ikut makan siang bersamaku dan Siska.
Namun dalam hati aku merasa bersyukur karena hariku tidak terganggu lagi oleh celotehannya.
Esok paginya ketika mencegat pedagang sayuran yang lewat di depan rumah,tanpa sengaja aku bertemu dengan Mamanya Putri. Ketika kusapa, dia membuang mukanya.
Kesan yang dia tunjukkan jelas berbeda dengan yang dulu. Dimana dia biasanya langsung menyapaku ramah begitu kami bertemu.
Aku menjadi serba salah. Aku bertanya-tanya dalam hati apa kira-kira yang membuat dia sepertinya marah padaku. Apa kesalahanku padanya? bathinku.
Kubiarkan saja sikapnya seperti itu. Sambil membawa beberapa sayuran hijau dan bahan lauk pauk dari gerobak sayur Bang Urip, aku bergegas masuk ke rumah.
Namun langkahku tertahan di teras depan ketika sayup-sayup kudengar suaranya berkata ketus
“Dasar tetangga baru! Baru meminjamkan duit segitu saja pakai lapor ke orang-orang. Dasar mulut ember!” umpatnya menyindirku.
Mendengar kata-katanya itu aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Jelas aku merasa terhina. Sebenarnya aku ingin balas menghardiknya. Namun aku berusaha menyabarkan diriku.
Aku kemudian mengingat pembicaraanku dengan Bu Retno. Bisa jadi Bu Retno menyampaikan kepada seseorang, lalu seseorang itu menyampaikannya kepada seseorang yang lain, lalu seseorang yang lain yang tentu tetangga kami menyampaikannya kepada Mamanya Putri.
Hal kecil semacam ini begitu cepat berhembus dikalangan ibu-ibu yang mulutnya bawel dan kurang kerjaan. Aku menggerutu ketika masuk ke dalam rumah.
***
Baca : Cerpen islami : Mantra Ajaib Badrul
Semenjak itu, aku tidak lagi mencibir tetangga depan rumahku yang rumahnya mewah, berpagar tinggi dan senantiasa tertutup itu. Aku bahkan jarang lagi telihat di depan rumahku yang juga kini, berpagar tinggi dan selalu tertutup.(*)