Jika orang kaya juga bisa menderita lalu mengapa ada yang menganggap mereka tidak layak dikasihani?
Inggris berduka. Ratu mereka Elisabeth II meninggal dunia pada kamis 8 september kemarin. Belasungkawa dan simpati riuh bergema di negeri itu. Deras mengalir menanggapi kematian sang ratu yang menutup usianya di angka 96.
Simpati adalah perasaan untuk merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Kita menempatkan diri pada posisi orang lain sehingga kita memahami apa yang orang lain itu rasakan. Lalu akhirnya rasa sedih, marah, atau kecewa yang dimiliki orang itu sepertinya menular kepada kita.
Ada narasi budaya yang sering terjadi di sekitar kita dan juga berbagai kisah sosial bagaimana orang-orang lebih memilih meletakkan simpati kepada orang yang berasal dari kelas sosial bawah atau setidaknya memiliki kesetaraan sosial dengan mereka.
Beberapa hari lalu, seorang teman mengabarkan bahwa dia sudah pindah ke tempat kerja yang baru. Perusahaan tempat dia dulu bekerja mengalami kebangkrutan dan melakukan PHK kepada semua karyawannya. Sulit dibayangkan bagaimana perusahaan yang sudah lama berjalan, membentangkan tikar lalu kemudian harus gulung tikar. Jadi saya merasa wajar bersimpati dengan apa yang dialami pemiliknya. Tapi teman ini menganggap simpati itu lelucon belaka. Dia berujar sembari tertawa bahwa bosnya yang bangkrut adalah orang yang sangat kaya sehingga tidaklah layak mendapatkan simpati. Setelahnya itu dia bercerita dengan sedih tentang seorang rekannya yang belum berhasil mendapatkan pekerjaan.
Perkataan teman ini menyiratkan bahwa masalah orang-orang sangat kaya entah bagaimana tidak pantas mendapatkan simpati.
Namun jika menengok ke Inggris, rakyat jelata juga antusias memberi simpati untuk rajanya. Terlepas dari apakah simpati itu didorong oleh ikatan emosional yang kuat akibat begitu lamanya sang ratu berkuasa, namun ini juga didasari kesadaran bahwa semua orang yang berduka, tidak terkecuali, bahkan untuk seorang raja yang berkuasa dan kaya raya, juga layak diberi simpati
Simpati untuk kerajaan Inggris yang berkabung, mungkin tidak relevan dengan simpati yang ingin kita bicarakan sekarang. Jelas tidak ada hubungannya antara duka seorang anak yang ditinggal ibunya dengan kekuasaan dan kekayaan. Tapi kita membicarakan simpati sekarang. Jadi saya senang menemukan fakta dengan menengok ke Inggris, untuk melihat bagaimana dampak simpati pada kesejahteraan emosional seseorang tidak dianggap remeh.
Terlepas dari rasa penasaran kita yang bertanya-tanya apakah yang disebut Majesty The King, di momen sakral negeri Inggris saat itu, berpikir dan mengatakan di dalam hatinya “akhirnya saya menjadi raja”. Yang jelas saya senang bahwa kita masih melihat fakta bahwa simpati juga layak diberikan kepada siapa saja. Termasuk kepada seorang raja.
Simpati untuk Orang Kaya
Di tengah kesenjangan yang besar dan melebar antara si miskin dan si kaya, meletakkan simpati ke orang kaya kadang kurang mendapatkan kepercayaan. Ini dianggap sulit terjadi karena orang kesulitan untuk mengasihani orang yang berada di atas mereka, Banyak orang yang masih sulit untuk mengambil posisi di atas, sembari duduk bersama, mendengarkan keluhan orang kaya, mencoba ikut merasakan derita apa yang orang kaya itu rasakan di tengah kesenjangan dan perbedaan sosial yang begitu dalam di antara mereka.
Sementara meletakkan simpati pada seseorang yang berada di bawah atau setara dengan mereka biasanya cukup mudah.
Jika kita menganggap bahwa orang bisa saja bersimpati dan membela mereka yang berada di atas, namun realitanya ini lebih jarang untuk terjadi.
Buruh yang kehilangan pekerjaan menarik simpati banyak orang. Namun ketika beberapa pengusaha kaya menghadapi masalah dengan bisnis mereka dan akhirnya menutup gerai bisnisnya, orang-orang tidak ada yang peduli. Pekerja yang kesulitan membiayai hidupnya mengundang simpati banyak orang. Namun ketika pemilik bisnis melaporkan bisnisnya mengalami kesulitan dan berada di ujung tanduk, keluhan mereka dianggap seperti angin lalu.
Mengapa banyak orang menganggap orang kaya tidak layak dikasihani?
Kadang kita yang miskin berpikir seperti ini. Orang kaya dan berkuasa memiliki banyak pelipur lara. Ketika orang kaya dan berkuasa ini memiliki masalah, mereka bisa pergi kemana saja. Mereka bisa menggunakan uangnya untuk menghibur diri, bersenang-senang dan melupakan masalahnya. Mereka bisa pergi berlibur dan melihat apa yang tidak mampu dilihat orang miskin. Mereka tidak perlu khawatir besok makan apa, tidak perlu khawatir tentang biaya sekolah anak-anaknya, tidak perlu khawatir dengan harga kebutuhan pokok yang melonjak dan beraneka macam derita orang miskin lainnya.
Mereka memiliki hak istimewa dalam menjalani hidup. Jika sakit, mereka bisa mendapatkan dokter terbaik, Jika tersangkut masalah hukum, di area hukum yang tumpul, mereka masih bisa bebas dan tetap dihormati oleh para penjilat. Jika satu bentuk bisnis mereka bangkrut, mereka masih memiliki banyak sumber uang lain untuk menghasilkan lebih banyak uang. Jadi mereka memiliki banyak pilihan terbuka. Mereka juga dapat memilih untuk membuang uangnya dan bergabung dengan kita yang miskin jika memang menginginkan simpati.
Benarkah seperti itu? Apakah orang kaya tidak pernah menderita? Apakah para miliarder tidak pernah mengalami stress dan tekanan dalam hidupnya?
Orang Kaya Juga Bisa Menderita
Jika kita belum menyadarinya, banyak orang kaya juga mengalami permasalahan berat dalam hidupnya. Diguncang stress dan depresi. Bahkan derita mereka bisa mengalahkan derita orang miskin, yang lagi pusing dengan harga BBM naik.
Berada di atas tidak selalu mudah. Seperti halnya orang miskin yang bisa berbahagia maka orang kaya juga bisa menderita. Beberapa orang kaya menghadapi tekanan pekerjaan yang luar biasa. Berjuang membangun perusahaannya untuk mencapai puncak. Mereka kadang merasa menderita di tangan sistem. Menjalankan ambisi negara untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya, Sementara mereka sendiri masih terseok-seok menangani industri.
Dirumah mereka yang mewah, derita bisa berlangsung lebih hebat. Orang kaya yang selalu sibuk di luar, banyak yang gelisah memikirkan tumbuh kembang anak-anaknya. Kita tahu anak-anak selalu menginginkan lebih banyak waktu bersama orang tua. Anak-anak mereka juga tidak kalah menderita. Sebagian mereka kadang mengalami masa kanak-kanak yang menjenuhkan. Menghabiskan waktu tanpa hiburan untuk belajar keras di sekolah elit.
“Anak-anak orang kaya juga bisa ikut menanggung derita,
bahkan jika orang tua mereka menghasilkan lebih banyak uang daripada kita.”
Beberapa dari orang-orang kaya ini bahkan tidak pernah punya waktu untuk benar-benar santai. Ketika mereka merasa penat dengan rutinitas lalu pergi berlibur, mereka tetap memantau bisnisnya dari jauh. Tidak seperti pekerja biasa yang saat libur dapat membebaskan dirinya dan pikirannya dari pekerjaan, mereka yang kaya terus terhubung dengan pekerjaannya dimanapun mereka berada. Terkadang karena mengikuti permintaan, mereka bekerja lebih keras dari yang seharusnya.
Depresi banyak terjadi dikalangan orang kaya, termasuk penyalahgunaan narkoba, perceraian, bahkan bunuh diri jika masalah sudah melewati ambang batas yang sanggup mereka terima. Saldo simpanan mereka di bank ternyata tidak selalu berguna untuk mengatasi semua permasalahan hidup.
Tentu saja, tidak semua orang kaya mengalami masalah yang sama.
Namun yang jelas, berada di atas juga bisa melelahkan dan dirundung stress. Lalu mengapa kita tidak bersimpati?
Baca : Benarkah Sukses Membawa Kebahagiaan?
Orang kaya juga bisa menderita tetapi….
Saya pernah mendengar ini; “Ketika seorang manusia dimanjakan dengan keamanan dan kenyamanan, pikiran manusia masih akan terus mencari alasan kecil untuk menciptakan penderitaan.”
Mungkin benar bahwa kehidupan orang kaya bisa menghasilkan lebih banyak stress dan lebih banyak tekanan. Tetapi juga benar bahwa mereka dapat membuat pilihan yang berbeda. Mereka bukannya tidak berdaya. Setidaknya mereka masih bisa terhindar dari apa yang diderita orang miskin.
Mereka sebenarnya memiliki segala yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Namun mereka terperangkap dalam keinginan besar yang membuat mereka merasa menderita. Mereka mungkin menginginkan rumah yang lebih banyak atau menambah koleksi mobil mewah mereka. Atau mungkin ingin memiliki sebuah pulau pribadi di daerah antah berantah. Atau mungkin juga mereka memiliki impian untuk terbang ke bulan dan mendarat di planet Mars. Dan ketika keinginan besar mereka itu tidak terwujud, itu lah yang membuat mereka merasa hancur. Mereka tidak seperti orang miskin yang mampu mendulang rasa syukur dan terlatih untuk berbahagia dengan hal yang sederhana dan murah.
Jadi buat apa kita yang mencari uang buat makan saja masih susah harus bersimpati dengan keinginan besar mereka?
Faktanya masih banyak orang kaya yang sangat rakus dan serakah merampas milik orang miskin. Menimbun makanan, kebutuhan pokok seperti minyak goreng, beras, gula dan sebagainya, Lalu menaikkan harga setinggi mungkin sehingga kita kesulitan. Mengapa mereka melakukan ini? karena bisa. ‘Alah bisa karena biasa.’ Mereka memiliki daya dan kuasa untuk itu. Mereka masih memiliki kontrol terhadap harga-harga barang. Jadi mereka dapat terus mengumpulkan kekayaan dan membuat orang lain terus miskin. Perusahaan mereka dapat memonopoli pasar dan mendepak pesaing dibawah mereka. Jadi ketika kebangkrutan menimpa mereka, kita sebenarnya tidak perlu khawatir. Karena dibalik kebangkrutan mereka, ada perusahaan lain yang diuntungkan.
Jadi apa yang dikatakan teman masih wajar dengan menganggap mengasihani orang kaya itu lelucon?
Sekarang, sebagai pengamat yang tidak memihak, sepertinya kita semakin sulit untuk memutuskan dimana harus meletakkan simpati.
Siapa yang memiliki tekanan lebih besar, apakah CEO yang harus begadang dan lembur semalaman untuk merancang strategi perusahaan dan memeriksa hasil kerja tim eksekutifnya atau tekanan yang diterima pekerja biasa yang bertahan dengan upah minim? Siapa yang lebih menderita, Bos besar yang miskin waktu untuk keluarganya atau karyawan bawah yang tidak jelas akan masa depan karirnya?.
Entahlah. Namun yang jelas bagi kita bahwa semua orang bisa memiliki masalah, kesulitan, beban dan tekanan dalam hidupnya.
Jadi sebagai manusia yang baik hati, kita harus merasa simpati kepada siapapun yang tengah mengalami masa-masa sulit. Jangan hanya karena kita tidak berada di posisi mereka, menjadikan kita enggan untuk bersimpati.
Orang miskin memiliki terlalu sedikit dan karenanya kita mudah memandang mereka dengan simpati. Tapi kita juga dapat bersimpati kepada orang kaya, ketika saat diterpa masalah bisnis mereka memikirkan bukan hanya anak mereka, tapi juga ratusan bahkan ribuan orang lain (karyawan) yang harus mereka beri makan. Benar mereka memiliki kekayaan dan kekuasaan tetapi mereka juga banyak berkorban untuk itu.
“Orang kaya juga harus kita kasihani. Bahkan jika mereka menghindari orang miskin seperti kita, karena takut kemiskinan kita menular. Karena mereka juga bisa menderita dan mati. Sama seperti kita semua. Menjadi kaya tidak memberi mereka kekebalan dari masalah hidup.”
Sekarang jika kita berbicara tentang simpati, kita dapat melepaskannya dari kesenjangan sosial.
Jika ini berjalan baik, kita akan melihat, ketika diantara mereka ini mengalami masalah, orang kaya akan bersikap peduli dengan memberi simpati dan membantu kepada orang miskin. Dan orang miskin juga tidak segan memberi simpati kepada orang kaya.
Dan keuntungan dari keajaiban ini akan berbuah manis.
Sangat manis.
Catatan Zatlog
“Setiap manusia memiliki masalah
yang harus kita hadapi dengan simpati.
Masalah yang harus kita bantu.
Serta masalah yang pantas kita hina.”
.